Jumat, 12 Oktober 2012

Malam-malam

Kadang... aku merasa takut saat malam datang... karena aku benci kegelapan.

tapi terkadang... aku sangat merindukan datangnya malam... karena aku bisa merasakan ketenangan dalam kesendirian...

tenggelam dalam percakapan
antara aku dan Tuhan

avalloquita (12.11.12:22.33.44)


Selasa, 31 Juli 2012

mimpi, harapan, kerja keras dan doa untuk cita-cita

gantungkan cita-citamu setinggi langit... (by. Agnes Monica & Esa Yayang)

Sekejap terlelap... Tanpa latar belakang, anganku tiba-tiba saja melayang menyusuri bayang-bayang masa silam.

Perlahan ku dengar senandung seorang anak kecil menyanyikan lagu tersebut. Bernyanyi berulang-ulang, kata yang sama, dengan nada yang itu-itu saja...

Aku pun mencari asal suara tersebut... Dan tak lama kemudian, aku melihat sosok seorang gadis kecil berusia sekitar 4 tahun, duduk di atas lantai ubin di sebuah ruangan entah dimana. Sekilas terlihat ia tengah menduduki kertas putih berukuran besar. Gadis itu berambut ikal dan memakai rok bawahan seragam TK berwarna hijau dan kaus dalam saja. Dari gerak-geriknya, ia terlihat asik menarikan sebuah pensil di atas selembar kertas putih berukuran besar yang ia duduki sejak tadi.

Saat aku mendekatinya... ia sebentar melihat ke arahku dan meneruskan kembali aktivitas mengambarnya...

Lalu ku sapa dia...
"Adek lagi gambar apa?" tanyaku.
"Ini kan awan, Bu" jawabnya sambil menunjuk-nunjuk kertas di bawah kakinya.

Kuperhatikan lebih seksama, gadis kecil itu memang menggambar awan banyaakk sekali...

Namun, saat kertas sudah hampir penuh dengan "gumpalan awan"... ia menghentikan kegiatannya. Ia pun menanyakan kepadaku pertanyaan.

"Bu, kalau mau gantungin cita-cita gimana caranya? Susah Bu, ketinggian... kejauhan... Dulu kalau Ibu gantungin cita-cita Ibu di Langit sebelah mana?" tanyanya bertubi-tubi.

Sontak aku terhenyak... pertanyaan itu... pertanyaan yang pernah aku lontarkan kepada guru TK-ku dahulu... Beliau bernama Ibu Nani, salah satu pengajar di TK Melati, Maleber Utara Bandung. Badannya yang kurus dengan potongan rambut sebahu, senyumnya yang masih kuingat meskipun wajahnya samar-samar. Entah bagaimana kabar beliau sekarang...

Aku pun ingat sebuah jawaban yang pernah diberikan guruku dahulu...

"Jangan gunakan tanganmu utk menggantungkan cita-citamu di langit... tapi gunakan mimpimu utk mencapai tempat tertinggi" jelasnya padaku.

"Lalu, gunakan harapan untuk menjaga cita-citamu dari angin kencang bahkan badai topan... dan jangan lupa berdoa" tambahnya.

"Berdoa supaya cita-citaku semakin tinggi dan tinggi lagi ya, Bu?" sahut gadis kecil itu.

"Bukan sayang... tetapi berdoalah agar suatu saat kamu dapat menjemput cita-citamu itu dengan kerja kerasmu mendaki sampai ke tempat tertinggi tadi" ujarnya.

avalloquita310712.2348
(zeni III8 mamprat jaya)


Selasa, 10 Juli 2012

Bukan Menulis, Hanya Sekedar Membuang Sampah...

Saat kubuka mataku tadi pagi, aku teringat sebuah kata ajaib yang selalu berhasil membuatku merasakan 4M syndrome, yaitu Mual, Mulas, Menggigil dan tentu saja... Malas. Sebuah kata yang sebetulnya berperan dalam setiap pencapaian hidupku, bahkan mungkin yang menghidupiku di tahun-tahun terakhir. Aku memang tidak terlalu bodoh dalam hal ini, ya... terlalu malas lebih tepatnya.

Ya... aku tidak suka menulis. Karena menurutku, menulis adalah pekerjaan yang lebih menyita waktu daripada sekedar bercerita. Ratusan kata bisa meluncur dengan derasnya hingga terkadang lebih sulit menghentikannya, daripada memulainya. Entah, orang senang mendengarnya atau tidak. Sempat pernah kunyatakan di suatu waktu beberapa tahun yang lalu, aku lebih baik diminta berbicara hingga suaraku habis daripada harus menulis. Buatku yang pasti, dengan bercerita... aku merasa sangat lega.

Berbeda dengan menulis. Seringkali otakku terlalu cepat mengatakannya sehingga jemariku tak mampu mengejar semua ide-ide yang tidak beraturan dan muncul di kepalaku dalam situasi yang seringkali tidak tepat. Terlebih saat ini, menulis menjadi pekerjaanku sehari-hari. Tanpa beban apapun, rasanya berat sekali untuk menulis... Apalagi dengan tuntutan sebagai sebuah kewajiban... Rasanya, ingin menyerah saja.

Seperti pagi ini, adalah kali pertamaku mengikuti pelatihan menulis. Rasanya menakutkan bertemu dengan mereka yang mungkin sudah sangat mahir dalam merangkai kata-kata. Sementara aku, jangankan menulis, membaca pun sulit. Ya... aku juga tidak suka membaca. Sekedar membaca yang aku suka, mungkin pernah kulakukan. Sementara untuk membaca hal lainnya, aku selalu mengaku tidak punya waktu.

Kudengar suara tutor di depanku berkata, "menulis itu menyembuhkan. buanglah semua yang ada di pikiran, hingga menemukan sebuah gagasan"... ya, ya, ya, terdengar mudah sepertinya. Tapi benarkah? menyembuhkan? Apa yang disembuhkan? Buang pikiran? Pikiran yang mana? Yang seperti apa?

Berbagai pertanyaan tiba-tiba saja menyerbu masuk ke kepalaku, hingga terasa penuh. Arrgghh... kembali fokus... kembali fokus... Ayo, kembali fokus, Mayang!

"Mayang... Mba Mayang..." sayup-sayup kudengar seseorang memanggil namaku. Toturku,entah sudah keberapa kalinya ia memanggil namaku. Sontak aku terhenyak. Kusudahi lamunan yang sempat membawaku pergi dari alam sadarku.

Ia lalu memintaku menuliskan apapun yang ada di kepalaku. Akupun menuliskan semuanya. Tentang rasa mual, mulas dan malas... tentang ketidaksukaanku... tentang ketakutanku... juga semua kecurigaanku... semua. Tujuh menit berlalu, kuletakan pena disamping kertas putih yang penuh dengan tulisan yang hanya dapat kubaca sendiri itu.

Tanpa kuduga, sebuah perasaan yang kurindukan kembali kurasakan. Merasakan sebuah kenyamanan, yang sama rasanya seperti saat kita berhasil mengeluarkan gas kentut yang sudah lama terakumulasi dalam perut... Hm, betapa leganya bisa kembali merasa lega.